Jambitransnews.com - Warga di Medan atau Sumatera Utara (Sumut) pada umumnya sudah tak asing ketika mendengar seseorang menyapa orang lain dengan kata lae, eda atau ito. Apa sebenarnya arti dari sapaan-sapaan tersebut?
Sejarawan asal Kota Medan, M Azis Rizky Lubis, memberi penjelasan soal arti lae, ito, eda hingga ampara atau sering disebut apara. Dia mengawali penjelasan soal banyaknya sapaan khas di Sumut.
"ADi Sumatera Utara, banyak sekali sapaan yang muncul dalam kehidupan sehari, beberapa di antaranya adalah, lek, ito, apara," kata Azis kepada wartawan, Minggu (5/9/2021).
Azis mengatakan sapaan-sapaan itu berasal dari Toba dan Mandailing. Salah satunya adalah lek yang sebenarnya berasal dari kata lae. Kata lae, menurut Azis, hanya dipakai saat seorang laki-laki menyapa laki-laki lainnya.
"Kata sapaan ini sebenarnya berasal dari Toba dan Mandailing. Sapaan ini biasanya digunakan untuk seseorang yang belum dikenal. Kata 'lek' merupakan satu bentuk transformasi kata yang berawal dari lae. Kata lae merupakan panggilan seorang laki-laki kepada laki-laki lain. Kemudian, ada kata 'eda' yang digunakan perempuan kepada perempuan lagi," ujar Azis.
Sapaan itu bisa berubah atau berbeda tergantung orang yang terlibat percakapan. Biasanya, perubahan sapaan atau panggilan bakal terjadi jika ada kesamaan marga atau perbedaan marga.
Azis kemudian menjelaskan soal arti kata ito. Dia mengatakan ito merupakan panggilan antara laki-laki ke perempuan atau perempuan ke laki-laki yang semarga. Selain itu ada juga apara yang sering digunakan untuk laki-laki untuk menyapa laki-laki lain.
Azis menaksirkan sebutan-sebutan itu sudah lama digunakan dalam percakapan masyarakat. Terutama di masyarakat Toba dan Mandailing.
"Sebutan tadi tentu sudah lama adanya. Karena sejalan dengan keberadaan marga-marga dalam suku Toba, maupun suku Mandailing," kata Azis.
Azis kemudian menjelaskan soal bagaimana sebutan itu bisa sampai ke Medan. Menurut Azis, migrasi masyarakat dari wilayah Toba dan Mandailing ke Medan membuat sapaan itu menjadi banyak atau umum digunakan oleh warga Medan.
"Nah, perihal mengapa sebutan ini sampai di Medan, karena masyarakat asli sebagai penutur sebutan tadi melakukan migrasi ke wilayah Medan. Mereka yang datang kemudian membawa budaya asli dan menerapkannya di lingkungan tempat tinggal yang baru. Semakin bertambahnya jumlah penutur ini kemudian mempengaruhi masyarakat lain, sehingga dapat menarik masyarakat lain tersebut untuk ikut menuturkan," ujar Azis.
Azis mengatakan saat ini bukan hanya masyarakat Toba dan Mandailing saja yang memakai sapaan itu dalam percakapan sehari-hari. Dia mengatakan penggunaan sapaan lae, ito, eda dan sapaan lainnya dalam percakapan sehari-hari digunakan masyarakat agar lebih akrab.
"Kalau kita lihat kenyataannya, sebutan ini kemudian seolah-olah menjadi komersil. Orang-orang yang berada di luar etnis tersebut kemudian ikut menjadi penutur. Kalau dilihat sih motifnya sama, agar terlihat lebih akrab," kata Azis.
Sumber : Hetanews.com
Social Plugin